Malam Terakhir di Kirgiztan

Malam Terakhir di Kirgiztan


Malam terakhir di Kirgiztan, persisnya di Kota Karakol, saya menyempatkan diri melakukan ritual night city walk sendirian. Mulai jam 9 malam, sampai beberapa menit saja
menjelang tengah malam. Mirip Kang Dedi Mulyadi, saya melakukan assessment atas kota ini.

Ini kota yang untuk kacamata Indonesia sangat bersih. Tidak ada sampah berceceran, apalagi ditumpuk-tumpuk di pojokan macam di Jogja. Fasilitas umum berupa bangku-bangku di pinggir jalan ada banyak sekali. Juga taman-taman yang hijau, luas, dan bisa dipakai warga secara gratis untuk ngumpul, nongkrong, pacaran, main voli, naik odong-odong, dsb.
Jalur pedestrian juga jelas. Tidak terplester bagus, tapi jelas barangnya. Jelas jalurnya. Gak macam di Negeri Danantara, yang trotoarnya habis buat parkiran motor, ditanami lapak angkringan, atau bahkan tak ada trotoar sama sekali.
Belum lagi perilaku pemakai jalannya. Memang mobil banyak yang ngebut. Tapi sekali kita nyeberang lewat zebra cross di jalan besar (yang tanpa lampu penyeberangan), sudah pasti semua mobil akan mengerem menyilakan kita melenggang.
Soal kebersihan--di negeri yang di atas kertas tercatat sebagai negeri miskin ini, 40-50 peringkat di bawah Endonesa--memang bikin heiran sejak dari Uzbekistan kemarin. Bersihnya relatif ori. Selama di sini, saya hampir tidak melihat petugas kebersihan yang bekerja nyapu jalan (satu kali saja, kalo gak salah). Hampir semuanya organik dari warga sendiri.
Usut punya usut, semua itu karena tradisi sejak lama (akan saya ceritakan belakangan). Juga karena mental ketertiban bentukan kominis Uni Sovyet.
Lihat aja bangku-bangkunya yang dari besi itu. Kalo di Endonesa, 90 persen itu akan cuwil atau bahkan lenyap buat dijual kiloan. Di sini, semua terjaga.
Meski demikian, fasilitas lainnya bolong. Jalan yang masih tanah ada di mana-mana, bahkan di sudut area pusat kota. Playground untuk anak juga nyaris tak ada--saya cuma nemu satu, itu pun jelek sekali. (Mungkin psikologi kominis memang ngebet menjadikan bocil-bocil segera jadi Tentara Merah, bukan buat main playground.)
Sementara itu, nah ini, patung perunggu berdiri gagah di mana-mana. Di satu taman saja bisa berdiri tiga patung besar, tanpa satu pun playground. Bahkan ada satu taman dengan deretan lebih dari 20 patung dada tokoh-tokoh militer. Belum lagi patung-patung di pinggir jalan di sepanjang perjalanan.
Sangat kominis, kan?
Memang resminya Kirgiztan bukan negara komunis, tapi jejak-jejak Soviet masih sangat dihargai, patung palu arit masih berdiri, dan tentu saja kultur dan psikologi bawah sadar bentukan kedisiplinan puluhan tahun masih membekas di sini.
Barangkali, kekominisan tadi juga membentuk suasana aman. Malam saat saya jalan kaki ribuan langkah sampai masuk lorong-lorong ini adalah malam spesial yang relatif ramai, karena esok paginya libur nasional Hari Buruh. Banyak keluarga masih menghabiskan waktu di taman-taman hingga mendekati tengah malam. Tetapi, di sudut-sudut lain, sepi buanget dan agak gelap. Meski demikian, saya papasan berkali-kali dengan mbak-mbak cantik yang tampak tenang saja berjalan seorang diri.
Saya ketemu juga sih, sama orang mabuk di jalan, tapi cuma satu (foto terakhir). Itu saat saya tengah duduk-duduk di bangku sambil rokokan. Lelaki mabuk itu mendekati saya, dan tentu saya siap-siap, entah untuk menendang tititnya atau kabur sebisanya.
Tapinya, dia cuma mengulurkan tangan, kemudian minta salaman sambil bilang, "Assalamualaikum" trus ngeloyor pergi dengan langkah sempoyongan wkwk.

Comments

Popular Posts