Apakah Para Akademisi Kita Hidupnya Terlalu Serius?
Waktu mau ke Iran kemarin, saya bawa sebuah buku buat teman mabur 20 jam PP. Baru baca 15 halaman, langsung kerasa buku yang saya tenteng itu tidak sebagus yang saya harapkan.
Mampirlah saya ke Periplus. Mau beli Nexus-nya Harari, regane hampir setengah juta. Dapatlah buku yang ini, meski yaaa untuk soal Majapahit tentu saya sudah pernah baca dari sumber-sumber lain.
Tapi ternyata, di buku ini saya mendapatkan beberapa hal yang jarang saya jumpai dari buku-buku sejarah garapan penulis Indonesia, yaitu teknik bertutur. Enak, lincah, kadang ada selipan humor, tapi tetap serius membahas fokus obrolan tentang Majapahit beserta kembangan-kembangannya.
Pertanyaan saya, kenapa penulis Indonesia spesialis sejarah (setahu saya) gak ada yang menulis dengan lincah? Atau karena rata-rata sejarawan kita basisnya akademis? Sementara, Pak Herald ini bukan akademisi, sama halnya dengan Tim Hannigan yang menulis Raffles, sama pula dengan Elizabeth Pisani penulis Indonesia Etc.
Dan, ketiga penulis ini bisa menyodorkan gaya yang super-asik. Setidaknya menurut saya.
Saya tergoda untuk mengambil kesimpulan bahwa memang ketiganya bukan akademisi, melainkan jurnalis dan travel writer, sehingga tulisannya super kriuk. Selesai perkara. Masalahnya, coba baca Wali Berandal Tanah Jawa-nya Pak George Quinn.
Pak Quinn itu propesor ANU Ostralia lho ya. Dan dia bisa menulis dengan keluwesan dan selera humor yang, menurut saya, setara dengan Eric Weiner penulis Geography of Bliss!
Maka pertanyaan besarnya adalah: apakah para akademisi kita hidupnya terlalu serius? Atau? Apa?
(Ini bukan mau jualan buku, tenang aja. Saya lagi sibuk menulis dan Toko Buku IAD sedang tutup, udah 4 bulanan ini.)
Comments
Post a Comment